Memasuki 52 Tahun Musyawarah Pepera, Advokat Yan C Warinussy : Masalah Ini Masih Terus Diperdebatkan
3 min readTOP-NEWS.id, MANOKWARI – Hari ini, 2 Agustus terhitung sudah 52 tahun terlaksananya Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Jayapura, Papua yang ketika itu bernama Kota Baru atau Sukarnapura.
Pelaksananya yang dimulai pada 14 Juli 1969 dari Merauke, Wamena, Nabire, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak hingga berakhir di Kota Baru (Sukarnapura) telah diketahui hasilnya.
Yaitu, dari 1.025 orang yang dipilih dari sekitar 800 ribu jiwa rakyat Papua saat itu telah menyatakan tekad ikut Indonesia. Hal ini kemudian hari seringkali dipersoalkan atau digugat oleh rakyat Papua dengan alasan Act of Free Choice tidak demokratis dan lain sebagainya.
Ditambah lagi dalam proses pelaksanaannya terdapat informasi kalau ada banyak warga sipil Papua mengalami ketidakadilan, bahkan ada yang disiksa hingga dibunuh atau dieksekusi secara kilat (summary execution).
“Ditambah ada yang dinyatakan hilang atau dihilangkan secara paksa (disappearance). Inilah titik soal yang menurut pandangan saya sebagai advokat dan pembela hak asasi manusia (HAM) bahwa terdapat sejarah masa lalu yang kelam dari kehadiran negara Indonesia di Tanah Papua yang dahulu disebut Nieuw Guinea itu,” kata Yan Christian Warinussy, SH, advokat dan juga pembela HAM di Tanah Papua kepada TOP-NEWS.id, Senin (2/8/2021) pagi.
Karena soal itu, kata Yan, tidak pernah diselesaikan menurut cara-cara yang dibenarkan dan diakui secara hukum dalam pergaulan internasional. Padahal untuk membawa Indonesia sebagai sebuah negara hadir dan “berkuasa” di atas Tanah Papua, proses hukum internasional ditempuh, yaitu melalui Perjanjian New York (New York Agreement) yang ditanda tangani pada 15 Agustus 1962.
Lalu diatur masa itu, bahwa proses pemberian kesempatan bagi rakyat Papua untuk menentukan pilihannya dilakukan dalam Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas). Walau ternyata dalam faktanya “dirubah” topiknya menjai Musyawarah Pepera yang kurang lebih sama dengan menyatakan pendapat bersama sebagai sebuah pernyataan tertulis tanpa pilihan.
Akibatnya di dalam Resolusi Perserikatan Bangda Bangsa (PBB) 2504, 19 November 1969 sama sekali tidak terdapat kalimat atau kata yang menyatakan mengesahkan hasil Act of Free Choice 14 Juli hingga 2 Agustus 1969 di Tanah Papua (Irian Barat) tersebut.
Resolusi 2504 hanya memuat dua catatan penting, yaitu pertama, mencatat laporan dari Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB dan memahami dengan penghargaan pelaksanaan tugas oleh Sekjen dan wakilnya dipercayakan kepada mereka sebagaimana tercantum di dalam persetujuan 1962 di antara Indonesia dan Belanda.
Kemudian kedua, menghargai setiap bantuan yang diberikan melalui Bank Pembangunan Asia, melalui lembaga-lembaga PBB atau melalui cara-cara lain kepada Pemerintah Indonesia di dalam usaha-usahanya untuk memajukan perkembagan ekonomi dan sosial di Irian Barat.
“Jadi catatan saya, adalah tidak terdapat pengakuan secara hukum mengenai hasil Act of Free Choice 1969 tersebut yang tentunya berpengaruh secara politik dan hukum. Sehingga ini menjadi sebab adanya pengakuan negara di dalam konsiderans huruf e dari Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,’ ucapnya.
Sehingga di dalam amanat Pasal 46 dari UU Otsus Papua tersebut diatur tentang cara-cara negara menyelesaikan soal sejarah masa lalu Tanah Papua ini melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Status politik Papua di dalam resolusi PBB tersebut sesungguhnya bersifat tidak mengikat (not legally binding) yang berpengaruh.
Karena, kasus-kasus pelanggaran HAM sejak 1961 yang lalu dan hingga kini belum terselesaikan dan seharusnya menjadi perhatian Pemerintah Indonesia dalam konteks negara dan bangsanya.
“Ini penting menjadi perhatian negara berkenaan dengan peringatan 52 tahun pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) atau Musyawarah Pepera yang terus diperdebatkan Papua dan Jakarta hingga hari ini,” tutupnya.