fbpx
Sabtu, 19 April 2025

TOP-NEWS

| KAMI ADA UNTUK ANDA

Kisah Buah Mungil yang Menyelamatkan Oleh: dr Andreas Pekey, SpPD

6 min read

TOP-NEWS.id, JAYAPURA – “MASIH teringat dalam benak saya, saat itu hari Sabtu diakhir bulan (lupa bulannya kapan) di tahun 1994 sekitar pukul 14.00 WIT, saya diajak oleh ayah ke SP (Satuan Permukiman, sebutan untuk daerah transmigrasi). Kebetulan saya bersama ayah berbeda tempat tinggal dengan ibu dan saudara dan saudari saya yang lainnya. Saya dan ayah tinggal di daerah yang cukup dekat dengan pusat kota sekitar 3,9 kilometer (km), yaitu Kompleks Perumahan Guru SD Girimulyo 1 Nabire, Papua di Kompleks Batalyon 753 AVT, sedangkan ibu dan saudara dan saudari saya tinggal di daerah SP yang berjarak 13-15 km dari tempat kami tinggal,” kisah dr Andreas Pekey, SpPD, dokter muda yang saat ini menduduki jabatan penting sebagai Wakil Direktur di RSUD Jayapura, Papua dalam tulisannya kepada TOP-NEWS.id, Kamis (28/7/2022) siang.

Jarak rumah orangtua yang di kota sampai ke rumah di SP sekitar 2 jam 42 menit via Jalan Poros Wadio. (Sumber: Google Maps)

Dokter muda yang pernah menjabat sebagai Direktur RSUD Nabire, Papua ini menceritakan, pada tahun 1994, Nabire saat itu belum berkembang pesat seperti saat ini (2022).

Saat itu, kata dr Andreas, jumlah kendaraan roda empat dan roda dua masih sangat terbatas. Baik kendaraan angkutan umum maupun kendaraan pribadi, demikian pula untuk sampai ke SP hanya bisa mengunakan kendaraan umum dari Pasar Karang Tumaritis (salah satu pasar di kota) ke perempatan (sebutan tempat pemberhentian kendaraan di SP).

Sebagai seorang ayah yang memiliki sembilan orang anak, beliau adalah ASN/PNS bergolongan II, yang ditugaskan sebagai penjaga sekolah yang sehari-hari bertugas membuka dan menutup pagar sekolah, pintu kelas, membagikan jatah beras, dan membuatkan teh untuk para guru serta tugas lainnya.

Sehingga, kalau dibayangkan bagaimana keadaan keuangan di akhir bulan. “Hari Sabtu tersebut, kami tidak memasak nasi karena kehabisan beras. Biasanya setiap pagi saya memasak nasi untuk dimakan seharian, karena kami hanya berdua tinggal di situ,” ujar dokter muda yang bertalenta ini, mengenang.

Saat itu (1994), belum ada restoran, warung makan, bahkan kios pun sangat terbatas. Walaupun memiliki uang, belum tentu dapat membeli makanan dengan begitu mudah.

“Sekitar pukul 14.00 WIT, siang hari di bawah panasnya terik matahari saya dan ayah mulai melangkahkan kaki untuk berjalan sejauh 13-15 km menuju SP. Sebagai seorang anak yang masih berusia delapan tahun (kelas 3 SD), saya merasa senang karena diajak sang ayah untuk bertemu ibu dan semua saudara-saudari tanpa berpikir bahwa saya belum makan seharian ini,” ucap dokter muda dan pintar yang menamatkan spesialisnya di Universitas Indonesia.

Dikatakannya, waktu tempuh perjalanan dengan berjalan kaki sekitar tiga hingga empat jam perjalanan. Sehingga, waktu itu kami mulai berjalan pukul 14.00 WIT, jadi kami akan tiba di tempat tujuan antara pukul 17.00-18.00 WIT.

Awalnya perjalanan menyenangkan, tetapi setelah setengah perjalanan atau setelah menempuh perjalanan 7 km (1,5 jam perjalanan) fisik seorang anak kecil ini tidak bisa dipungkiri, apalagi dirinya belum makan seharian.

“Akhirnya saya mulai lemas dan kehabisan tenaga, mungkin akibat kekurangan cairan (dehidrasi) dan kadar gula darah mulai rendah (hipoglikemia). Namun demikikan, saya tidak boleh mengeluh karena keluhan saya bagaikan undangan emosi sang ayah untuk mengayunkan tangannya membungkam keluhan saya,” ucapnya kenang sang ayah.

Dalam kenangannya, dokter muda yang memiliki jabatan hebat ini selalu mengingat ajaran ayahnya  bahwa hidup tidak boleh mengeluh, apapun keadaannya. Jika kami mengeluh, maka sudah tau akibatnya.

“Saya yang mulai melemah lambat laun berjalan makin perlahan, sehingga jarak antara ayah dan saya mulai menjauh, ayah di depan sedangkan saya di belakang. Suasana jalan sangat sepi tanpa seorang pun yang lalu lalang. Tanpa rumah atau pemukiman di sepanjang jalan, demikian juga tidak tampak satu pun kendaraan yang lewat. Benar-benar berjalan di tengah hutan belantara yang berawa,” jelas dia lagi.

Dalam mengenang saat itu, untuk menambah tenaga seorang anak kecil, dirinya merasat tidak ada hal apapun yang dapat diperbuat untuk menambah tenaganya, kecuali meminum air rawa yang ada di sepanjang perjalanan.

“Itulah satu-satunya hal yang bisa saya lakukan. Membeli makanan? Membeli minum apalag? ini benar-benar berjalan di hutan belantara tanpa kehidupan manusia, meskipun ada uang, apa yang mau dibeli? Karena di sepanjang jalan yang ada hanya terlihat hutan,” tutur dokter muda yang menamatkan kedokterannya di Universitas Cenderawasih Jayapura, Papua.

Ilustrasi jalan di hutan belantara (Sumber: Jerat Papua)

Makin lama makin lemah, langkah kaki Andreas kecil mulai sempoyongan. “Pandangan mulai kabur merasa sebentar lagi saya akan pingsan tanpa diketahui oleh sang ayah yang sudah berjarak jauh di depan saya. Di situasi yang seolah sudah hilang harapan dan dalam hitungan menit, dalam hati saya merasa pasti akan pingsan. Untungnya tanpa sengaja saya melihat ada tumbuhan menjalar yang hanya memiliki satu-satunya buah sebesar bola tenes lapangan (bola kasti),” terang dr Andreas dengan bersemangat.

Rasa Manis yang Berenergi

“Dari penampakannya, dahan dan daun serta satu-satunya buah yang dihasilkan pohon tersebut saya tau bahwa tumbuhan ini masih tergolong muda dan buahnya pun belum tua atau matang untuk dimakan. Meskipun buah itu tampak muda, namun suara hati saya memaksakan untuk memetik buah dari tanaman yang ada di pinggir jalan tersebut. Apalagi kondisi yang sudah melemah memaksakan naluri saya agar bertahan hidup harus perlu makan apapun yang ada, termasuk meminum air rawa yang sudah saya lakukan sebelumya,” kenangnya.

Dan gerakan tangannya seolah-olah secara otomatis tanpa berpikir langsung memetik buah tersebut, meskipun Andreas kecil sudah tau kalau buah itu masih muda dan tidak akan menambah energi dan kadar gulanya. Seperti pada buah yang telah matang atau memiliki kadar gula (rasa manis).

“Spontan saja buah itu saya pecahkan, namun di luar apa yang terlintas dalam benak saya ternyata buah mungil yang tampak masih muda tersebut sudah matang dan tampak sangat kemerahan saat dimakan. Buah kecil itu memberikan rasa manis yang luar biasa, sehingga energi saya yang melemah secara perlahan mulai kembali, serta kadar gula saya pun mulai kembali normal,” cerita dr Andreas dengan nada girang.

Dikatakan Wakil Direktur RSUD Jayapura ini, pengalamannya ini seperti orang yang seharian melakukan ibadah puasa kemudian segera mencari minuman manis saat berbuka puasa di sore hari.

Dan akhirnya energi mulai kembali ke tubuh, juga tubuhnya makin segar dan langsung saja Andreas kecil berlari mengejar sang ayah yang sudah menjauh di depannya.

Pada pukul 17.30 WIT, akhirnya kami berdua sampai juga di rumah SP dan bertemu ibu dan keluarga dengan penuh rasa bahagia serta penuh cinta dan rasa rindu yang sangat mendalam karena jarang bertemu.

dr Andreas Pekey, SpPD (saat masih anak-anak) berbaju kaos dan duduk paling ujung kiri berwajah lugu dan imut, foto bersama teman-teman kecilnya saat tinggal di SP Nabire, Papua. (dok)

Itulah cerita singkat pengalaman seorang anak kecil dengan buah semangka yang menjadi buah mungil penyelamat dr Andreas Pekey, SpPD yang saat ini sudah menjadi pejabat tinggi yang tidak bisa dianggap sebelah mata.

Dokter muda, pintar, bertalenta, dan selalu terus belajar untuk menambah ilmu dari segi jurusan apapun serta sampai kapanpun. Baginya, pendidikan adalah nomor satu dan menjadi tiang seseorang untuk diangkat derajatnya.

Makna dibalik cerita ini, adalah ingin memberikan motivasi kepada anak-anak (generasi milenial) yang saat ini memiliki segalanya dari orang tua.

Marilah kita besyukur atas apa yang saat ini kita miliki, belajarlah untuk sayang dan menghormati orang tua kita, juga selalu berdoa, serta belajar yang rajin.

Untuk anak-anak yang ada dibalik hutan rimbah, jauh dari kecukupan belajarlah dengan tekun dari keterbatasanmu, seperti apa yang telah dilakukan Andreas Pekey kecil hingga akhirnya lulus sebagai dokter umum di Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura serta lulus sebagai Dokter Spesialis Penyakit Dalam dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta.

Bravooo…, Ayo semangat terus Generasi Milenial, jangan pernah menyerah dengan keadaan. Raihlah terus semangat dan pendidikan serta cita-citamu demi masa depanmu.

Editor: Frifod

Copyright © TOP-NEWS.ID 2024 | Newsphere by AF themes.