Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Minta Presiden Jokowi Segera Ambil Langkat Cepat Selesaikan Biak Berdarah
3 min read

TOP-NEWS.ID, MANOKWARI – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Papua Barat Advokat Yan Christian Warinussy, SH meminta perhatian Presiden Republik Indonesia Ir H Joko Widodo (Jokowi)
untuk mengambil langkah cepat dan segera menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Biak Berdarah pada 6 Juli 1998.
“Saya berharap dan meminta perhatian Presiden Jokowi untuk mengambil langkah cepat dan segera dalam menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM Berat Biak Berdarah 6 Juli 1998. Jadi hingga 6 Juli 2021 ini, sudah 23 tahun kasus yang termasuk kategori berat sesuai amanat Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU RI No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut belum pernah “disentuh” dari aras kebijakan negara semenjak Presiden Jokowi berkuasa,” demikian dikatakan advokat ternama dari Papua ini kepada TOP-NEWS.ID, Rabu (7/7/2021) malam lewat pesan elektronik.
Padahal, kata Yan, menurut laporan dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat yang dikeluarkan oleh Lembaga Studi Advokasi HAM (ELS-HAM) Papua berjudul “Pusara Tanpa Nama, Nama Tanpa Pusara”, tercatat delapan warga sipil diduga tewas.
“Tiga warga sipil diduga hilang. Kemudian ada 4 warga sipil mengalami luka berat dan 33 lainnya menderita luka ringan. Bahkan, 50 warga sipil diduga mengalami penahanan dan penyiksaan secara sewenang-wenang oleh aparat keamanan negara,” ungkap Yan.
“Dan ditemukan sekitar 32 sosok mayat misterius tanpa identitas di sekitar perairan Pulau Biak dan sekitarnya. Penemuan mayat-mayat tanpa identitas tersebut, hanya dalam kurun waktu beberapa hari pasca terjadinya penyerangan aparat keamanan (TNI/Polri) terhadap massa aksi unjukrasa damai di bawah menara air (tower) di Kompleks Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Biak Kota, pada 6 Juli 1998 sekitar pukul 03:00 Wit hingga siang hari itu,” tuturnya.
Rakyat Sipil Jadi Korban
Akibatnya, kata Direktur Eksekutif LP3BH ini, diduga para korban berjatuhan dari pihak rakyat sipil. Semenjak Juli 1998 sampai saat ini, Pemerintah Indonesia sama sekali tidak memberi perhatian serius dalam mendiskusikan cara-cara paling terhormat di dalam mendorong penyelesaian kasus Biak Berdarah tersebut, secara hukum maupun secara politik.
Padahal Indnesia sudah memiliki UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM , yang lahir hanya setahun pasca peristiwa Biak Berdarah Juli 1998. Bahkan, Indonesia juga sudah memiliki UU RI No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Selanjutnya, Pemerintah RI melahirkan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang di dalam Pasal 45 dan Pasal 46-nya mengatur mengenai bagaimana negara menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Namun hingga saat ini sama sekali tidak nampak adanya kemauan politik (good will) dari Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi untuk “menyentuh” kasus Biak Berdarah tersebut.
“Sesungguhnya menurut pandangan saya sebagai advokat dan pembela HAM, Pasal 46 Dari UU RI No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sudah memberikan ruang bagi penyelesaian kasus seperti Biak Berdarah,” tandas dia.
“Dan sangat baik jika langkah ini dimulai dari Gubernur Provinsi Papua untuk mempersiapkan segera pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang salah satu tugasnya nanti, adalah mendorong penyelesaian kasus dugaan Pelanggaran HAM Biak Berdarah , karena bersinggungan dengan aspek perbedaan pandangan politik antara Pemerintah RI dengan rakyat Papua mengenai sejarah yang diakui negara di dalam konsideran menimbang huruf e dari UU Otsus Papua itu sendiri,” katanya.