BMKG Sebut Gen Z dan Alpha Jadi Kelompok yang Paling Terdampak Perubahan Iklim
3 min readTOP-NEWS.id, JAKARTA – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut anak muda merupakan kelompok yang paling terdampak perubahan iklim. Karenanya penting bagi anak muda untuk mau melakukan aksi-aksi nyata dalam pencegahan perubahan iklim.
“Generasi Z dan Alpha akan menjadi generasi yang paling merasakan dampak dari perubahan iklim. Karenanya, saya yakin anak-anak muda yang jumlahnya mendominasi penduduk Indonesia bisa memberikan dampak signifikan terhadap aksi perubahan iklim,” ungkap Dwikorita.
Hal itu ia sampaikan dalam Festival Aksi Iklim dan Workshop Iklim Terapan, di Jakarta, baru-baru ini (20/8). Festival tersebut merupakan suatu rangkaian acara dalam Peringatan Hari Meteorologi Klimatologi dan Geofisika ke-7. Adapun tema yang diangkat dalam agenda tersebut yaitu “Aksi Iklim Kaum Muda untuk Perubahan Iklim Indonesia”.
Adapun fenomena perubahan iklim, diakui Dwikorita semakin mengkhawatirkan serta memicu dampak yang lebih luas. Hal itu terlihat dari berbagai peristiwa alam terkait iklim, dari suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi, hingga maraknya bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia.
Maka dari itu, tambah Kepala BMKG, seluruh generasi harus saling berkolaborasi untuk menahan laju perubahan iklim. Perubahan iklim global, ditegaskan Dwikorita bukanlah kabar bohong (hoax-red) dan prediksi untuk masa depan, melainkan realitas yang di hadapi miliaran jiwa penduduk bumi. Karenanya, fenomena tersebut tidak bisa dianggap sebagai sebuah persoalan sepele.
Badan Meteorologi Dunia (WMO) baru saja menyatakan bahwa tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental. Anomali suhu rata-rata global mencapai 1,45 derajat Celcius di atas zaman pra industri.
Angka ini, kata Dwikorita, nyaris menyentuh batas yang disepakati dalam Paris Agreement tahun 2015 bahwa dunia harus menahan laju pemanasan global pada angka 1,5 derajat Celcius. Pada tahun 2023, terjadi rekor suhu global harian baru dan terjadi bencana heat wave ekstrem yang melanda berbagai kawasan di Asia dan Eropa.
BMKG sendiri, ungkap Dwikorita memproyeksi suhu udara di Indonesia akan melompat naik hingga 3,5 derajat celcius dibandingkan zaman pra industri di tahun 2100 mendatang apabila aksi mitigasi iklim gagal dilakukan.
“Sementara Badan Meteorologi Dunia (WMO), menyebut bahwa tahun 2050 mendatang, dalam skenario terburuk maka negara-negara di dunia akan menghadapi tidak hanya bencana hidrometeorologi, namun juga kelangkaan air yang berakibat pada krisis pangan. Jika melihat tahun tersebut, maka dapat dipastikan bahwa Generasi Z dan Alpha lah yang akan paling merasakan,” imbuhnya.
Perlu Kesadaran dan Tindakan yang Masif
Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi, Ardhasena Sopaheluwakan menyampaikan bahwa perubahan iklim akan terus terjadi dalam beberapa dekade mendatang apabila tidak dilakukan aksi mitigasi.
Dampak negatif yang telah ditimbulkan oleh perubahan iklim menuntut perlunya respon global untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi. Dalam World Economic Forum 2023, lanjut dia, disampaikan juga bahwa kegagalan mitigasi dan adaptasi iklim merupakan risiko global terbesar dunia.
Kunci keberhasilan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim itu menurutnya, ada pada upaya yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan kesadaran dan pengetahuan yang mereka miliki.
Ardhasena menambahkan, yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana meningkatkan pemahaman iklim dan perubahan iklim di kalangan publik, terutama generasi muda, generasi milenial, gen-Z, yang mereka adalah generasi yang akan paling terpapar dampak perubahan iklim dalam satu atau dua dekade mendatang.
Sekaligus yang paling bertanggung jawab untuk melakukan segala tindakan dan upaya untuk menanggulanginya. Tidak hanya meningkatkan pemahaman, tetapi juga mendorong aksi-aksi nyata dalam melakukan penanggulangan perubahan iklim melalui aksi mitigasi dan aksi adaptasi perubahan iklim.
“Karenanya, diperlukan kesadaran dan tindakan yang masif dalam berbagai tingkatan yang disertai dengan aksi iklim yang nyata dan terukur dalam mewujudkan target Perjanjian Paris, yaitu membatasi peningkatan suhu rata-rata global di bawah 1,5°C dari tingkat pra industri, dan harus ada aksi nyata di lapangan yang mendukung pencapaian Sustainable Development Goal (SDG), terutama pada SDG ke-13, climate action,” pungkasnya.
Sumber : BMKG
(Biro Hukum dan Organisasi
Bagian Hubungan Masyarakat)