Panggung Politik di Tanah Marind: Boneka Kekuasaan dan Pemodal Politik Oleh: Frederik Gebze, Dosen Politik STISIPOL
2 min readKabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, merupakan tanah dengan kekayaan alam melimpah dan potensi besar untuk kesejahteraan rakyatnya. Namun ironisnya, warga asli Marind seringkali hanya menjadi penonton dalam panggung politik yang semakin sengit dan dikuasai oleh pemodal politik dari luar.
Dalam tulisan ini, saya akan menganalisis fenomena ini dan menyajikan pandangan akademis mengenai dampaknya terhadap masyarakat Marind.
Pemodal Politik dan Boneka Kekuasaan
Selama bertahun-tahun, dana APBN yang masuk ke Kabupaten Merauke mencapai hampir Rp 40 triliun sejak tahun 1902 hingga 2024. Namun, tingkat kesejahteraan masyarakat setempat masih tergolong rendah.
Para pemimpin yang seharusnya berasal dari putra terbaik Marind kerap kali hanya menjadi boneka pemodal politik. Mereka lebih sibuk menyusun strategi politik, berkoalisi, dan mengumpulkan dana daripada menyusun program nyata untuk pembangunan.
Calon pemimpin sering kali menghabiskan dana besar hingga Rp 5 – 10 miliar untuk membeli partai, operasional kampanye, dan saksi.
Pertanyaannya, dari mana dana ini diperoleh? Jika mereka berasal dari Aparatur Sipil Negara (ASN), tentu dana sebesar itu tidak mungkin terkumpul dari gaji mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa banyak calon pemimpin yang hanya menjadi boneka dari pemodal besar, yang mengendalikan mereka demi kepentingan sendiri.
Keterasingan dan Ketidakberdayaan Masyarakat Marind
Fenomena ini menyebabkan masyarakat Marind berada di posisi yang sangat terpinggirkan. Mereka rela memberikan kekuasaan kepada orang luar, menjual suara mereka dengan harga murah, dan menjadi penonton dalam teater politik yang dimainkan oleh elite-elite dari luar.
Akibatnya, orang Marind sendiri menjadi budak di tanahnya sendiri, sementara pemodal politik dari luar menikmati keuntungan besar.
Analisis Akademis
Melihat dari perspektif akademis teori bahwa hanya orang setempat yang mampu membangun daerahnya sendiri tampaknya tidak selalu berlaku di sini. Justru kecerdikan dan ketulusan orang luar telah berhasil memperdaya orang Marind, membuat mereka terpinggirkan di tanah sendiri.
Seorang pemimpin yang rela meninggalkan kepentingan rakyat demi mengejar kekuasaan hanya akan menciptakan kepemimpinan yang korup dan tidak efektif.
Kesimpulan
Tanah Marind telah menjadi medan permainan para pemodal politik, sementara masyarakat Marind sendiri hanya menjadi penonton dan korban.
Sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa perebutan kekuasaan ini hanya akan memperburuk kondisi masyarakat jika tidak ada perubahan signifikan dalam cara kita memilih dan mendukung calon pemimpin.
Masyarakat Marind perlu bangkit dan mengambil kembali kendali atas tanah dan masa depannya tanpa menjadi boneka pemodal politik.
Penutup
Tulisan ini diharapkan dapat membuka mata kita semua akan realitas pahit yang dihadapi oleh masyarakat Marind. Sebagai akademisi, saya mendorong adanya kesadaran kolektif dan tindakan nyata untuk mengubah kondisi ini. Hanya dengan begitu, tanah Marind dapat kembali kepada pemilik sejatinya dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh rakyatnya.
Editor: Frifod