Prabowo-Gibran Unggul versi Quick Count, Ini Prediksi Pakar Asing
3 min readTOP-NEWS.id, JAKARTA – Pasangan calon (paslon) presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka unggul dari dua paslon lainnya 01 dan 03 berdasarkan quick count (perhitungan cepat) beberapa lembaga survei.
Berdasarkan hitung cepat Litbang Kompas pada Rabu (14/2/2024) per 17.22 WIB, Prabowo dan Gibran unggul dengan 58,73 persen dari 77,90 persen suara yang masuk.
Sementara itu, paslon nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar meraih 25,31 persen suara, dan paslon nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD memperoleh 15,95 persen suara.
Keunggulan untuk Prabowo dan Gibran juga terlihat dari perhitungan cepat Charta Politika 57,72 persen darn 78,05 persen suara yang masuk, serta LSI dengan 57,26 persen dari 70,6 suara yang masuk.
Pengamat kajian politik dan keamanan internasional dari Universitas Murdoch, Ian Wilson sempat memprediksi masa depan Indonesia jika Prabowo Subianto menang di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Pendapat Wilson dituliskan dalam opini bertajuk “An election to end all election?”, yang dirilis di situs Fulcrum pada Selasa (30/1/2024). Situs ini terafiliasi dengan lembaga think tank ISEAS, Yusof Ishak Institute.
“Di masa kepresidenan Prabowo, mungkin terdapat perluasan pendekatan pemerintahan yang ‘tanpa oposisi’, yang dibingkai oleh kiasan nasionalis yang menjaga persatuan,” kata Wilson.
Koalisi Indonesia Maju mengusung Prabowo-Gibran menjadi pasangan calon capres-cawapres di pilpres kali ini. Partai yang tergabung di koalisi ini, yakni Gerindra, Golkar, Demokrat, PSI, PAN, PBB, dan Partai Gelora.
Terlebih lagi, Prabowo pernah mengatakan ingin melibatkan “semua pihak” mana pun dalam pemerintahan di masa depan.
Pemerintahan tanpa oposisi sudah pernah terjadi di era Jokowi. Petahana itu mengangkat Prabowo, yang sebelumnya menjadi lawan di Pilpres 2019, menjadi menteri pertahanan.
Langkah itu, lanjut Wilson, untuk menghilangkan oposisi di parlemen dan membatasi muncul basis kekuatan yang saling bersaing. Kondisi tersebut tak ditunjukan secara terang-terangan, tetapi melalui koalisi dan negosiasi antarelite.
Wilson menilai, dalam skenario semacam itu proses inti demokrasi seperti pemilu bisa dipertahankan, meski dalam skala yang lebih kecil.
“Namun, potensi untuk menghasilkan perubahan substantif sebagian besar hilang,” ungkap dia semberi menambahkan bahwa dirinya juga memprediksi potensi hilangnya pemilihan langsung. Terlebih lagi, Pemilu dengan sistem proporsional tertutup sempat menjadi perbincangan publik pada Mei 2023.
Ketika itu, Mahkamah Konstitusi (MK) disebut-sebut akan mengembalikan penerapan sistem proporsional tertutup dalam pemilu, terutama pemilihan kepala daerah. Namun, wacana ini ditolak banyak pihak termasuk delapan fraksi partai politik di DPR. Hanya PDIP yang tak ikut serta menolak sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional tertutup adalah sistem pemilihan yang memungkinkan rakyat memilih partai. Namun, warga tak bisa memilih wakil rakyat secara personal.
Partai pimpinan Prabowo, Gerindra, menolak arah reformasi yang bersifat liberal demokratis, demikian menurut Wilson. Gerindra kata Wilson, menghendaki pengembalian berdasarkan UUD 1945 versi asli.
Menurut jurnal di situs Cambridge.org, UUD 1945 yang asli dibentuk hanya oleh segelintir elite dalam lembaga yang didirikan kekuasaan pendudukan Jepang pada 1945.
“Ini berarti pembatalan amandemen konstitusi yang dibuat antara tahun 1999-2002 yang mendukung pemilu demokratis, perlindungan hak asasi manusia, dan batasan masa jabatan presiden (dua periode lima tahun),” tandas Wilson. (eff)
Editor: Frifod