Juni-Agustus, 3 Bulan Terpanas Sepanjang Sejarah, WMO Catat, 2023 Tahun Penuh Rekor Temperatur
2 min readTOP-NEWS.id, JAKARTA – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan,World Meteorolgical Organization (WMO) mencatat bahwa tahun 2023 menjadi tahun dengan pernuh rekor temperatur.
“Diantaranya adalah sepanjang Juni-Agustus menjadi 3 bulan terpanas sepanjang sejarah serta gelombang panas (heatwave) terjadi di banyak tempat secara bersamaan,” ujarnya.
Hal tersebut disampaikan Dwikorita disela-sela kegiatan program pendidikan Green Leadership Indonesia (GLI) yang diselenggarakan Institut Hijau Indonesia, Minggu (15/10/2023).
Acara ini mengangkat tema “Pemahaman tentang Isu Perubahan Iklim Bagi Green Leaders” yang diikuti ratusan peserta dari berbagai provinsi di Indonesia.
Sementara khusus di Indonesia,
BMKG mencatat secara keseluruhan, tahun 2016 merupakan tahun terpanas di Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0.8 °C relatif terhadap periode klimatologi 1981 hingga 2020.
Tahun 2020 sendiri menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.7 °C, dengan tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0.6 °C.
“Perubahan iklim memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air yang sudah semakin langka dan menghasilkan apa yang dikenal sebagai water hotspot,” katanya.
Dampak perubahan iklim sudah sangat terasa di Indonesia. Namun, diakui Dwikorita, banyak dari masyarakat Indonesia yang tidak memahami dan mengerti bahwa cuaca ekstrem yang kerap terjadi, kejadian iklim maupun kenaikan suhu udara merupakan dampak perubahan iklim.
Kondisi ini membutuhkan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi dampak bencana hidrometeorologi dan menurunkan emisi gas rumah kaca.
Dwikorita menyebutkan, guna memitigasi ancaman krisis pangan BMKG terus melakukan literasi iklim melalui Sekolah Lapang Iklim.
Sasarannya adalah petani Indonesia, dimana mereka diajarkan dan dilatih keterampilannya untuk terampil dalam memahami bagaimana strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di lingkungan wilayahnya, guna memperkuat ketahanan pangan Indonesia.
“Generasi muda harus terlibat dalam berbagai aksi mitigasi dan perubahan iklim termasuk mencegah laju perubahan iklim itu sendiri untuk menjaga keberlanjutan alam dan menciptakan masa depan yang lebih baik,” pungkasnya.
Ancaman Krisis Pangan
Dwikorita mengajak generasi muda berperan aktif dalam upaya melestarikan lingkungan dan menyelamatkan bumi dari Perubahan
“Indonesia butuh ide, pemikiran
sekaligus tindakan nyata yang inovatif dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk menciptakan linkungan yang berkelanjutan,” katanya.
Dwikorita mengungkapkan kondisi bumi kekinian akibat perubahan iklim cukup mengkhawatirkan. Tidak hanya bencana yang secara intensitas dan durasi semakin bertambah, namun juga krisis air yang juga berimbas pada berbagai sektor kehidupan.
Salah satunya yang terdampak adalah sektor pertanian dimana Food and Agriculture Organization (FAO) memprediksi dunia akan mengalami ancaman krisis pangan pada tahun 2050 mendatang.
“Belum lama ini, India menolak rencana impor beras dari Indonesia karena tengah mengetatkan kebijakan ekspor guna memenuhi kebutuhan
domestiknya,” ungkapnya.
Situasi ini menggambarkan bahwa negara lain juga berupaya mengamankan stok pangan mereka.
“Kondisi cuaca dan iklim yang tidak menentu membuat banyak negara yang juga mengalami situasi sulit,” ujarnya. (rls)